Anak tidak menyukai pelajaran matematika karena berbagai hal. Kita mengira anak tidak menyukai matematika karena beban kurikulum, karena faktor keluarga, karena tidak bakat, karena malas belajar. Benarkah demikian? Mari kita simak pembicaraan berikut ini.
Pembicaraan saya dengan Khibran
Bu Rini : “Apakah kamu suka pada pelajaran matematika?”
Khibran : “Sedikit. Lebih suka fisika karena angkanya tidak terlalu rumit.”
Bu Rini : “Pelajaran apa yang paling tidak kamu sukai?”
Khibran : “PPKN”
Bu Rini : “Mengapa?”
Khibran : “ Gurunya tidak enak, mengajarnya tidak enak, orangnya kasar.”
“Terlalu banyak hafalan.”
Bu Rini : “Sukakah kamu pada guru matematika kamu?”
Khibran : “Tidak suka.”
Bu Rini : “Mengapa?”
Khibran : “Sebenarnya gurunya pintar, tetapi tidak jelas dalam menerangkan materi.
Kalau memberi ulangan sulit, tidak sesuai dengan yang diterangkan. Standard
nilai tinggi dan jarang ulangan.”
Bu Rini : “Mengapa kamu kurang mengerti dengan materi yang diajarkan guru?”
Khibran : “Bahasanya sulit dimengerti dan keadaan kelas tidak terlalu mendukung.”
Bu Rini : “Keadaan kelas yang kurang mendukung itu seperti apa?”
Khibran : “Terlalu berisik dan panas.”
Bu Rini : “Pelajaran apa yang paling kamu sukai?”
Khibran : “Bahasa.”
Bu Rini : “Mengapa?”
Khibran : “ 1. gurunya enak dan tidak terlalu berat memberi tugas
2. pelajarannya enak, hanya membaca saja
3. cara mengajarnya mudah dipahami
4. secara umum, guru bahasa Inggris itu disukai anak”
Bu Rini : “Mengapa disukai anak?”
Khibran : “ 1. baik.
2. jika memberi tugas tidak sulit.
3. jangka waktu menyelesaikan tugas agak lama/ cukup waktu
untuk menyelesaikannya.”
Bu Rini : “Bagaimana sebaiknya sikap guru matematika, agar kamu suka pada
matematika?”
Khibran : “Mengajar matematika jangan terlalu keras.”
Bu Rini : “Maksudnya?”
Khibran : “ Kalau di sekolah, anak langsung disuruh mengerjakan soal matematika.
Setelah itu baru diajari materi.”
Bu Rini : “Terus sebaiknya bagaimana?”
Khibran : “Guru menerangkan materi terlebih dahulu kemudian baru menyuruh anak
mengerjakan soal. Kadang kita malah tidak diajari sama sekali dan disuruh
belajar sendiri. Tapi kita tidak mengerti dan bingung.”
Khibran : “Bahan ulangan juga kadang, dari 10 soal yang keluar, hanya 2 soal yang
sudah pernah diajarkan.”
Bu Rini : “Apa yang kamu sukai dari Bu Rini?”
Khibran : “Cara mengajarnya jelas dan bagus. Bu Rini mau menunggui anak-anak yang
kurang paham.”
Bu Rini : “Sukakah kamu pada matematika setelah belajar sama Bu Rini?”
Khibran : “Masih tidak suka, tapi cukup terbantu setelah les.”
Bu Rini : “Apa yang tidak kamu sukai dari Bu Rini?”
Khibran : “Kalau anak cowok ngobrol Bu Rini marah. Kalau anak cewek ngobrol dibela
sama Bu Rini.”
Bu Rini : ………….. tersenyum
Bu Rini : “Bagaimana sebaiknya sikap orang tua agar kamu suka belajar.”
Khibran : “Orang tua seharusnya mengerti keadaan anak.”
“Orang tua mengerti kegiatan anak setiap hari.”
“Anak juga minta dipahami bahwa anak juga punya rasa capai.”
“Jangan bandingkan anak dengan anak yang lebih pintar.”
Khibran tidak menyukai pelajaran PPKN karena menurut Khibran guru PPKN tidak enak, kasar, dan mengajarnya tidak enak. Khibran juga tidak menyukai pelajaran matematika karena guru matematika juga tidak enak mengajarnya. Khibran tetap mengakui bahwa guru matematika di sekolah cukup pintar.
Guru yang enak menurut Khibran adalah:
* Bahasanya mudah dipahami dan dimengerti oleh anak
* Jika memberi tugas, jangka waktu penyelesaiannya agak lama/ cukup
* Jangan memberi ulangan yang terlalu sulit
* Standard nilai jangan terlalu tinggi
* Guru mau menerangkan materi terlebih dahulu, setelah itu baru memberikan tugas/ soal latihan kepada anak
* Orangnya baik
Bahasa Guru Sulit Dimengerti
Keterangan guru yang terlalu berbelit-belit akan membingungkan anak dalam menyerap materi pelajaran. Bahasa yang sulit dipahami akan anak mematikan minat anak untuk belajar. “Kalau menerangkan pelajaran jangan sok ilmiah, bikin bingung. Kalau menerangkan cara mengerjakan soal jangan persis sama seperti di buku. Buat cara sendiri yang mudah diikuti murid.”, kata salah satu murid saya.
Guru Saya Suka Marah-Marah
Salah seorang murid saya yang lain mengatakan,”Saya tidak
menyukai matematika yang pertama kali karena saya tidak suka sama gurunya.” “Dulu saya benci sekali dengan pelajaran matematika karena guru saya kalau mengajar suka marah-marah tidak jelas. Selain itu mengajarnya juga tidak jelas. Pak Guru juga suka menghukum anak disuruh berdiri di depan kelas selama jam pelajaran berlangsung dan tidak boleh duduk sama sekali. Pak Guru juga suka bicara kasar dan suka ngata-ngatain anak.”, ujar anak yang lain. “Terus perasaan kalian bagaimana?” “Marah sekali, Bu. Pengin saya gebuk rasanya guru itu!”, jawab seorang anak perempuan yang saya pikir dia cukup pendiam dan alim.
Dari pembicaraan di atas, terungkap bahwa penyebab utama anak-anak tidak menyukai pelajaran matematika adalah ketidaksukaan anak terhadap sikap guru dan cara mengajar guru.
Apa Akibatnya?
Pada mulanya tidak suka dengan gaya mengajar guru, kemudian anak tidak memahami materi yang dipelajari. Karena tidak paham dengan materi yang dipelajari, maka secara perlahan anak tidak menyukai materi tersebut. Selanjutnya pelajaran matematika akan menjadi beban bagi anak. Dalam suasana seperti ini, sulit diharapkan minat anak akan tumbuh untuk mempelajari matematika. Anak akan merasa bodoh dan tidak mampu menyelesaikan soal-soal matematika. Akibatnya anak tidak bisa dan tidak berminat mengerjakan tugas dari sekolah maupun untuk belajar mandiri di rumah. Maka tidak heran jika kebanyakan anak-anak memandang matematika sebagai pelajaran yang menyebalkan. Anak akan berpikir, buat apa mempelajari matematika yang tidak mungkin ia pahami.
Sangat disayangkan, potensi anak yang semestinya terkembangkan malah menjadi termatikan. Akibat dari semua ini akan berlanjut pada masa-masa perkembangan anak selanjutnya. Pada saat SD anak menyukai pelajaran matematika, pada tingkat SMP anak tidak menyukai matematika karena tidak suka terhadap cara mengajar guru. Setelah SMA, anak dianggap bodoh dan tidak berbakat pada mata pelajaran matematika.
Orang Tua Tidak Bisa Membantu Kesulitan Anak
Anak akan menjadi semakin tidak berdaya karena pada umumnya orang tua juga tidak bisa membantu mengajarkan matematika kepada anaknya. Orang tua yang tidak memiliki latar belakang sekolah jurusan IPA pada umumnya tidak memahami pelajaran matematika. Bahkan sebagian diantara mereka terang-terangan mengakui bahwa sejak dahulu mereka tidak menyukai pelajaran matematika. Orang tua dengan latar belakang pendidikan IPA pun mengatakan, “Saya sudah lupa dengan materi pelajaran matematika yang dihadapi anak saya.”
Mendapat Guru Les yang Kurang Bertanggung jawab
Usaha orang tua untuk mencarikan guru les bahkan tidak banyak membantu anak karena orang tua kurang selektif dalam mencari guru les. Berikut pengalaman saya menghadapi anak baru bernama Ana. Saat duduk di kelas 1 SMA, Ana mendapat nilai matematika 9 di raport. Setelah mengajar Ana satu bulan saya mendapatkan bahwa daya nalar Ana belum sesuai dengan tingkatan kelasnya. Untuk ukuran kelas 2 SMA, Ana seharusnya dapat mengerti bahwa akar empat sama dengan dua. Ana tidak mengerti mengapa akar empat sama dengan dua. Dengan berat hati (karena agak mangkel juga) saya menjelaskan bahwa pelajaran akar-akaran ini sudah diajarkan pada saat kelas 5 SD. Kemudian saya jelaskan perlahan-lahan mengapa akar empat sama dengan dua. Kondisi ini sangat mengganggu kecepatan mengajar di kelas, untuk ukuran anak kelas 2 SMA. Anak tersebut belum begitu menguasai/ hafal perkalian satuan dengan satuan. Misalnya empat puluh dua sama dengan berapa kali berapa, membutuhkan waktu yang relatif lama untuk ukuran anak kelas 2 SMA. Hitungan pecahan juga belum dikuasainya dengan benar. Pelajaran tingkat SMP apalagi, masih belum bisa! Anak perlu menguasai terlebih dahulu materi matematika tingkat SMP sehingga anak tidak mendapat kesulitan ketika mempelajari matematika tingkat SMA. Saya mendayagunakan anak yang lain untuk mengajarkan kembali materi yang telah saya ajarkan. Saya mendapatkan laporan dari anak-anak saya tentang materi yang belum dikuasai Ana. Lantas saya bertanya kepada Ana, “Mengapa di kelas 1 SMA kamu mendapat nilai matematika 9 di raport? Padahal banyak materi pelajaran SMP belum kamu kuasai dengan baik?” Jawaban Ana cukup mencengangkan saya. “Ibu, saya mau cerita kepada Ibu. Tetapi Ibu jangan cerita ke papa saya ya?” “Mengapa Ana?” “Pada waktu kelas 1 SMA, papa saya mengundang guru les privat datang ke rumah. Guru itu memanjakan saya. Guru les mengerjakan semua PR dan tugas sekolah , kemudian saya tinggal menyalin. Kalau mau ulangan, saya disuruh tenang saja. Pada saat ulangan, saya disuruh sms jika tidak dapat mengerjakan soal ulangan. Terus dia memberi tahu jawabannya lewat sms.” Perbuatan guru les ini tidak diketahui orang tua Ana sampai sekarang. Beruntung Ana sadar bahwa cara ini tidak benar. Setelah belajar delapan bulan bersama, akhirnya Ana memutuskan untuk tidak lagi belajar dari guru les tersebut.
Ana mengembara mencari tempat bimbingan belajar, sampai akhirnya bertemu dengan saya. Mula-mula Ana merasa kaget dengan gaya mengajar saya. “Orangnya saklek. Tetapi saya baru tahu bagaimana seharusnya saya belajar. Pakai nalar ya, Bu? Selama ini tidak ada yang memberi tahu saya, Bu.” Ana juga sangat terkesan dengan gaya mengajar saya, hingga sesekali saya goda dia untuk mencari tempat les lain. “Tidak mau, Bu. Sampai kelas 3 SMA saya tetap belajar bersama Bu Rini.” Saya sangat terkesan dengan semangat belajar Ana yang luar biasa. Saya katakana kepada Ana untuk tetap semangat belajar walaupun banyak materi dari pelajaran tingkat SMP yang belum dipahaminya. Saya selalu yakin, Tuhan pasti akan memberi hadiah bagi orang-orang yang telah usaha. Hadiah itu bisa datang sesuai yang diinginkan, atau suatu saat nanti.
Orang tua Terlalu Memaksa Anak
Orang tua yang memaksakan anak hanya akan membuat anak bahwa matematika adalah beban. Semakin keras paksaan orang tua terhadap anak akan semakin keras pula usaha anak untuk melawan orang tua. Dengan demikian mereka semakin tidak berminat mempelajarinya. Anak akan semangat mempelajari sesuatu jika hal itu benar-benar menarik buat mereka.
Demikian juga dalam membuat PR. Anak tidak bisa dipaksa untuk menyelesaikan PR atau tugas sekolah. Kenali penyebabnya, mengapa anak tidak membuat PR. Mungkin anak belum paham konsep yang diterangkan guru, anak tidak suka dengan guru matematika di sekolah, jumlah PR terlalu banyak, anak belum bisa mengatur waktu, atau waktu yang tersedia terlalu sedikit. Jika sudah dikenali penyebab anak tidak mau membuat PR, Bantu anak untuk menyelesaikan masalah tersebut.
PR yang Terlalu Banyak dan Jangka Waktu Penyelesaian Terlalu Singkat
Untuk menentukan jumlah PR yang harus diberikan bisa didiskusikan dengan murid, karena murid juga mempunyai tugas dan kesibukan pada mata pelajaran lainnya. Jika murid minta PR terlalu sedikit, kita bisa mengingatkan bahwa latihan mandiri di rumah sangat penting untuk menajamkan pemahaman anak. Kita bisa bernegosiasi dalam hal ini. Tapi yang harus diingat adalah jangan memberi PR terlalu banyak kepada anak, karena anak meminta kita juga memahami bahwa mereka punya kesibukan. Jika kesepakatan jumlah PR dan waktu pengembalian disepakati, maka biasanya anak dengan senang hati akan menerima PR itu. Bukan memandang PR sebagai beban.
PR yang Terlalu Sulit
Anak akan dengan senang hati mengerjakan tugas manakala tugas itu memberi perasaan berhasil bagi dirinya. Tugas yang diberikan harus disesuaikan dengan kemampuan anak. Anak akan merasa frustasi dan gagal ketika pertama kali mengerjakan soal anak sudah dihadapkan pada soal yang sangat sulit sehingga ia harus berjuang keras untuk menyelesaikannya. Anak tidak akan menikmati proses belajarnya, ia akan memandang belajar sendiri di rumah butuh perjuangan keras yang belum tentu berhasil. Maka anak akan berhenti berusaha karena merasa buang-buang waktu saja.
Jadual Anak Terlalu Padat
Pada sekolah full day, tiap hari anak-anak pulang jam 16.30. Guru agama memberikan tugas hafalan yang begitu banyak, guru biologi memberi tugas membuat makalah, guru bahasa Indonesia memberi tugas membuat makalah, tiap hari Jumat dan Sabtu dalam minggu kedua sekolah mengadakan menginap bersama. Selain itu, untuk mengejar ketinggalan pelajaran di sekolah, anak-anak mengikuti les dari jam 16.30 sampai 18.00, empat kali dalam seminggu. Maka waktu belajar anak-anak dalam sehari adalah dari jam 07.00 sampai jam 18.00. Setelah maghrib, makan malam, jam 19.00 mulai mengerjakan PR yang jumlahnya sangat banyak dari bermacam guru bidang studi. Anak-anak sering mengeluhkan hal ini, tetapi orang tua dan pihak sekolah tidak melakukan perubahan apa-apa. Apa yang kemudian terjadi pada anak ini? Rasa jenuh yang amat sangat sehingga mematikan nalar mereka untuk mengerjakan tugas sebaik-baiknya. Yang terbentuk kemudian adalah terbentuknya lulusan sekolah yang mempunyai daya nalar kurang baik dan wawasan kurang. Mengapa demikian? Anak tidak mempunyai kesempatan sama sekali untuk belajar secara mandiri dan bereksplorasi mempelajari sendiri hal yang diminati. Tiap hari anak dijejali pelajaran oleh guru dan wawasan anak sangat tergantung dari pemberian materi oleh guru dan paket sekolah. Minat baca anak tidak terbentuk karena anak tidak mempunyai kesempatan untuk membaca banyak buku.
Soal Ulangan/ Test Terlalu Sulit
Dari wawancara saya dengan beberapa murid secara terpisah sebagian besar murid menyatakan guru mereka pintar dan pada saat menjelaskan juga mudah dipahami murid. Tetapi rasa kagum murid berubah menjadi kebencian tatkala guru tersebut mengadakan ulangan harian, mereka mengatakan “Guru yang sadis”. Sikap guru tersebut menghambat semangat murid untuk mempelajari materi selanjutnya.
Guru tersebut mempunyai kemampuan mengajar dan komunikasi yang bagus tatkala menerangkan materi di depan kelas. Tetapi kelebihan guru tidak akan diingat oleh murid karena yang ada dalam benak murid “Beliau adalah guru yang sadis.” Sebagian besar murid yang diajarnya mengalami perasaan tidak berdaya ketika ulangan. Sebesar apapun usaha murid, murid merasa frustasi, malu, sedih, rendah, bodoh, dan pada akhirnya membenci mata pelajaran guru tersebut. Coba bayangkan, dari setiap ulangan, rata-rata hanya 5 dari 35 anak yang berhasil meraih nilai standard (6,5). Jika kejadian ini berlangsung terus dalam waktu satu tahun, alhasil sebagian besar murid yang diajar oleh guru tersebut akan membenci matematika. Sebesar apapun usaha kita untuk menerangkan bahwa matematika itu mudah, usaha kita akan sia-sia jika kita tidak mau tahu kesulitan murid dan tidak mau mencoba mengetahui penyebab sebagian besar murid (85% murid) tidak bisa mengerjakan test yang kita berikan.
Test/ ulangan sebaiknya tidak dipersulit. Buat test yang disesuaikan dengan kemampuan anak, materi yang telah diajarkan, dan tugas-tugas yang telah diselesaikan anak. Kalaupun tingkat kesulitan test dibuat lebih tinggi dari tugas yang biasanya dikerjakan di kelas maupun di rumah, beri waktu yang lebih lama sehingga murid merasa cukup waktu untuk memikirkan dan menyelesaikan test tersebut. Tidak ada gunanya kita memberikan test yang sangat sulit dan diselesaikan dalam waktu yang sangat sempit. Ini hanya akan membuat murid merasa tidak berdaya, membenci matematika, dan usaha keras kita untuk mengajar materi kepada anak akan sia-sia. Sayang bukan jika terjadi hal yang demikian?
Metode pengajaran yang bermutu sebaiknya dilihat secara keseluruhan, jangan dilihat secara parsial. Metode pengajaran yang bermutu tidak hanya diukur dari kemampuan guru ketika menerangkan materi pelajaran ke murid.
Ada anggapan yang keliru bahwa suatu pelajaran akan bermutu jika pelajaran itu dianggap sulit oleh murid-murid. Makin banyak kegagalan yang dialami murid maka akan menambah gengsi pada pelajaran matematika. Anggapan ini sangat keliru. Padahal tujuan utama kita mengajar adalah bagaimana supaya murid-murid menyenangi matematika sehingga mereka menganggap bahwa sebetulnya matematika itu mudah.
Sesulit apapun suatu materi, jika kita kemas dengan bahasa sederhana yang mudah dimengerti oleh siswa, maka materi yang sulit tersebut dapat dipahami oleh murid yang tidak tergolong pandai sekalipun.
Menarik minat murid untuk menyukai pelajaran matematika tidak bisa kita paksakan. Menonjolkan daya juang, kerajinan, dan ketekunan tidak ada faedahnya manakala murid sudah merasa tidak berdaya menghadapi soal-soal matematika. Yang perlu dilakukan adalah memberi tugas kepada murid sesuai dengan tingkat kemampuan masing-masing sehingga murid akan mudah menyelesaikan tugas tersebut, merasa bangga, dan merasa sukses telah berhasil mengerjakan soal. Rasa sukses ini akan mampu menarik minat murid untuk mempelajari materi selanjutnya dan mengerjakan soal dengan tingkat kesulitan yang lebih tinggi. Maka tatkala murid bertanya kepada saya, “Ibu, pada halaman berapa dan nomor berapa saja PR yang mesti saya kerjakan?”. Saya hanya menjawab,”Pilihlah semua soal yang bisa kamu kerjakan, yang penting kamu bahagia.” Biasanya murid-murid tersenyum mendengar jawaban saya. Dan anda pasti takjub dengan soal yang telah dikerjakan murid. Soal yang kemudian dikerjakan oleh murid ternyata melebihi dari materi yang telah diajarkan di sekolah! Maka kunci utama agar murid tekun adalah memberi kemungkinan kepada murid sehingga murid dengan bahagia mampu mengerjakan tugas yang diberikan.
Kepandaian murid dalam mata pelajaran matematika tidak tergantung kepada bakat. Bakat tidak menentukan tingkat penguasaan murid terhadap suatu materi. Setiap anak dapat menjadi pandai pada mata pelajaran matematika jika anak tersebut diberi waktu yang cukup untuk mempelajari suatu materi, berhadapan dengan guru yang mampu memahami karakteristik anak, situasi sekolah yang kondusif untuk pengembangan pelajaran matematika anak, dan dorongan dari orang tua. Kemampuan bahasa anak juga sangat mempengaruhi kemampuan anak dalam memahami matematika.
Pengalaman belajar yang menyenangkan akan membuat anak semakin tertarik untuk mempelajari suatu pelajaran, khususnya matematika. Suasana belajar yang menyenangkan harus kita rancang sedemikian rupa sehingga menjadi suasana belajar sehari-hari.
Maka pakailah hati ketika mengajar, memberi tugas, dan memberi soal ulangan. Mari kita renungkan bersama, bahagiakah kita jika berada pada posisi murid yang dibuat tidak berdaya dengan tugas dan ulangan yang sulit?
Pada saat di sekolah, pada waktu mengerjakan test murid merasa tidak berdaya dan bodoh. Sampai di rumah, murid bertambah beban dengan pertanyaan orang tua, “Berapa nilai ulangan matematika yang kamu raih?” Jawaban murid biasanya, “Tidak tahu, belum dibagikan” sambil beringsut pergi. Anak tidak akan memberi tahu perolehan nilai ulangan karena tidak mau mengecewakan orang tua, sementara ia juga tidak berdaya menghadapi betapa sulitnya soal-soal ulangan matematika di sekolah. Maka yang terjadi kemudian, ada sebagian orang tua menjatuhkan kesalahan dalam diri anak. Pelabelan “kurang rajin, malas, tidak bisa membagi waktu, kurang latihan, dll” acapkali dilontarkan orang tua kepada anak.
Written :by Koeshartati Saptorini
Sumber :http://ganesha-one.com
Heru Kunjungi profilHanya sebuah situs webLog sederhana sebagai media belajar dan berbagi, dengan harapan semoga dapat bermanfaat untuk semua.